By Alfarisi Thalib
Tenaga Ahli Fraksi Golkar DPR RI/
Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies
Hasil evaluasi Pilpres dan Pilkada 2024 banyak pakar menilai merupakan pemilu yang penuh dengan banyak kesalahan dan kelemahan, kondisi ini menurut Deddy Sitorus, politisi PDIP dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan beberapa pegiat pemilu pada 26 Februari lalu, merupakan pemilu yang paling brutal.
Dari berbagai masukan dan koreksi ini memunculkan rekomendasi yaitu menguatnya dorongan untuk merevisi paket UU Pemilu, lewat metode Omnibus Law. Hal ini, wacana ini juga semakin gencar digalangkan, usai Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mempertimbangkan penggunaan metode Omnibus Law untuk merevisi delapan UU terkait sistem politik dan pemilu. Delapan UU yang bakal direvisi dengan metode Omnibus Law antara lain UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Kemudian, UU Pemerintah Daerah, UU DPRD, UU Pemerintah Desa, dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Diinternal Komisi II DPR RI, wacana ini mulai lakukan dengan mengajukan rencana revisi UU tersebut menjadi UU Prioritas tahun 2026, selain itu juga intens memanggil para pakar pemilu, organisasi pegiat pemilu dan akademisi yang konsern memberikan perhatian terhadap pemilu, untuk mendengarkan hasil kajian dan masukan mereka dalam rangka perbaikan sistem pemilu.
Gugatan Terhadap Kekuasaan Partai Politik
Poin utama yang menjadi pembahasan dalam Upaya melakukan revisi UU Pemilu adalah, selain tentang mengevaluasi keserentakan pemilu, ambang batas parlemen, juga tentang pendanaan partai politik dan masa jabatan partai politik. Poin yang disebutkan terakhir ini mendorong Dosen Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Edward Thomas Lamury Hadjon, mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Partai Politik serta Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu permohonannya ialah meminta ada pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik.
Dilihat dari situs MK, Senin (10/3/2025), gugatan itu telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 22/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, Edward menggugat sejumlah pasal, yaitu Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik: “pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”. Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3: “(2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
Menurut Edward, pasal-pasal tersebut harus diubah, pertama, Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik diubah menjadi: “Pergantian Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART dengan syarat untuk pimpinan Partai Politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam masa jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut”.
Kedua, Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 diubah menjadi: “Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian diputuskan oleh rakyat melalui pemilihan kembali”. Ketiga, Penjelasan pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 diubah menjadi: “Yang dimaksud dengan ‘pemilihan kembali’ adalah pemilihan umum yang diselenggarakan di Daerah Pemilihan (Dapil masing-masing anggota DPR terpilih yang diusulkan berhenti oleh Partai Politik melalui mekanisme pemilihan Surat Suara dengan pilihan yang tersedia ‘ya’ atau ‘tidak’.
Membatasi Masa Jabatan Ketua Umum Partai
Dalam permohonannya, Edward menyebut, selama ini tidak ada pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik. Padahal, katanya, partai politik merupakan pilar demokrasi. Partai seharusnya menjalankan prinsip-prinsip demokrasi di lingkup internal. Salah satunya pembatasan kekuasaan.
Ketiadaan batasan masa jabatan pimpinan partai politik menyebabkan kekuasaan yang terpusat pada orang atau figur tertentu dan terciptanya otoritarianisme dan dinasti dalam tubuh partai politik. Pengaturan mengenai masa jabatan yang didelegasikan melalui AD dan ART menyebabkan keleluasaan bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk melanggengkan kekuasaan.
Apa yang menjadi alasan gugatan Edward merupakan hal lama didiskursuskan oleh para ilmuan politik, terutama dunia kampus, mengingat sentralnya kekuasaan yang dimiliki partai politik di Indonesia yang tidak terbatas, mengendalikan kekuasaan melalui jaringan dan kader-kader partai yang sengaja ditempatkan pada setiap pos kekuasaan strategis di eksekutif, legislatif dan bahkan di lembaga yudikatif, seperti Kejaksaan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Padahal politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan jalannya demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider, “Political parties created democracy,” (Jimly Asshidiqie, 2016).
Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Mengingat pentingnya peran dan fungsi partai politik dalam sistem demokrasi perwakilan, maka tidak salah jika dikatakan berfungsi dan bekerjanya kehidupan negara, sangat bergantung pada keberadaan partai politiknya. Namun ironisnya, kelembagaan partai politik di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Selain karena sebagian besar terjerat oleh kasus korupsi dan perilaku tidak terpuji, partai politik juga sering dianggap sebagai instrumen demokrasi yang paling bermasalah (Moch Nurhasim 2013).
Salah satu prinsip demokrasi yang harus ada di dalam partai politik yaitu adanya pembatasan masa jabatan ketua umum partai, artinya apabila di dalam partai politik itu tidak adanya pembatasan berapa lama ketua umum itu berkuasa maka stabilitas demokrasi di dalam partai tersebut akan terguncang.
Kegagalan munculnya tokoh baru dalam parpol menunjukkan kegagalan partai melakukan reformasi internal, terutama untuk revitalisasi dan regenerasi. Terhambatnya regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi. Apapun pandangan ketua umumnya nyaris selalu menjadi sebuah kebenaran. Padahal, menghadapi tantangan ke depan yang semakin kompleks, kader-kader muda partai harus didorong untuk tampil.
Urgensi Pembatasan Masa Jabatan Ketua Umum Partai
Tujuan utama kenapa dilakukan pembatasan masa jabatan ketua umum partai adalah demi demokrasi dan masa depan partai itu sendiri. Karena nyaris semua perangkat keras dan lunak dari demokrasi dikendalikan oleh partai. Dan demokrasi yang sehat, terutama di internal partai, akan menciptakan ‘pencernaan’ dan kelembagaan partai yang sehat pula.
Pertama, Agar terciptanya proses demokratisasi di dalam tubuh partai. Dengan dibatasinya masa jabatan ketua umum, tentu akan menciptakan ‘lambung partai’ yang sehat untuk mencerna demokratisasi di dalam tubuh partai politik. Dengan cara itu, tercipta regenerasi kepemimpinan setiap periode, anggota-anggota yang muda dan berkompeten akan memiliki peluang yang sama untuk bisa menduduki jabatan tertentu. Ada sirkulasi politik yang menemparkan sistem demokrasi dan kelembagaan partai sebagai sentra, bukan sebaliknya, menjadi ketua umum sebagai simbol kekuatan utama.
Kedua, Untuk mencegah terjadinya politik dinasti dan personalisasi tokoh dalam Partai Politik. Dengan diaturnya pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mencegah dari politik dinasti. Demokrasi didalam partai politik bukan hanya persoalan proses pengangkatan ketua umum, dan saling tukar pendapat untuk mencapai mufakat saja, namun ada hal lain yang lebih penting yaitu mengenai pembatasan masa jabatan ketua umum tersebut. Jika hal tersebut tidak perlu diatur maka kemungkinan besar suatu partai akan mengarah kepada partai yang otoriter atau bahkan terciptanya dinasti politik didalamnya.
Marcuz Mietzner menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer di Indonesia. Menurutnya, praktik politik dinasti merupakan penyakit dalam demokrasi. Politik dinasti melemahkan controlling terhadap pemerintah yang merupakan hal penting dalam negara demokrasi (Marcus Mietzner, 2009).
Dinasti politik di Indonesia dilakukan dengan dua cara: by design dan by accident. Dinasti politik by design telah terbentuk sejak lama. Secara relasi, jejaring familisme dalam pemerintahan sudah kuat, sehingga kerabat yang masuk dalam pemerintahan atau terjun dalam kontestasi politik sudah diatur sedemikian rupa untuk merekayasa keberhasilan tujuannya. Adapun dinasti politik by accident terjadi dalam situasi suksesi pemerintahan yang secara tiba- tiba mencalonkan kerabat untuk menggantikannya demi menjaga kekuasaan informal terhadap penggantinya jika menang dalam kontestasi politik (Gunanto 2020).
Ketiga, Untuk melakukan regenerasi kepemimpinan. Figur ketua partai politik sering kali mengidentikkan atau bahkan menyamakan dirinya dengan partai itu sendiri sehingga menihilkan peran para anggotanya. Sehingga tiap apa yang dikeluarkan oleh partai tersebut bisa dibilang itu adalah sesuatu yang diinginkan oleh ketua umum tersebut.
Melihat dinamika politik nasional pada saat ini, ternyata masih didominasi oleh wajah-wajah lama. Akibat dari itu semua, paradigma dan perilaku politik yang dilakukan juga tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Banyak kalangan, khususnya generasi muda yang mengeluhkan regenerasi kepemimpinan partai politik yang melemah bahkan cenderung mandek.
Hal itu ditunjukkan oleh dominasi nama-nama lama yang kembali hadir sebagai pucuk pimpinan partai politik nasional. Dengan banyaknya keluhan dari kalangan khususnya generasi muda, maka sudah saatnya untuk segera diatur mengenai pembasan masa jabatan ketua umum parpol.
Posted in Opini
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Pada acara…
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Rabu 7 Mei…
SUMBAWA BARAT I Pintassatu.Com I — Mulai…
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Badan Pengawas…
DEPOK I Pintassatu.com l Upaya Beji bersinergi…
BOGOR KOTA I Pintassatu.Com I Wali Kota Bogor…
BANDUNG, PINTASSATU,com – Pengurus DPD Partai Golkar…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Irwasda Polda Metro…