Oleh: Mohammad S. Gawi
Keadilan adalah kebutuhan azasi manusia. Kebutuhan manusia akan keadilan tumbuh dari kenyataan bahwa dunia manusia penuh dengan perbedaan. Keadilan adalah perasaan, sedangkan perbedaan adalah kenyataan. Menyetarakan perbedaan adalah bagian dari upaya mewujudkan keadilan.
Untuk mewujudkan keadilan itulah, manusia menciptakan hukum dengan segenap perangkat dan sistemnya. Norma hukum dibuat, aparat dan lembaga hukum diadakan dan sistem diciptakan. Hakim yang diberi wewenang sedikit lebih tinggi untuk memberi dan memenuhi rasa keadilan bila terjadi sengketa atau kasus hukum. Itulah sebabnya, hakim diletakkan pada posisi lebih tinggi dan diberi kepercayaan sebagai Wakil Tuhan.
Sayangnya, belakangan ini, para Wakil Tuhan (hakim) mengalami dagradasi kemuliaan. Kasus terkini terjadi di Surabaya. Tiga hakim PN Surabaya diciduk Kejaksaan Agung dan ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga hakim diduga kuat menerima suap terkait vonis bebas terhadap Ronald Tanur dalam perkara penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afriyanti. Kasus ini merembet hingga ke hakim agung.
Belum hilang dari ingatan kita Kasus Suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati, yang kemudian terbukti menerima suap dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung.
Kasus yang sama menimpa hakim Pragsono, Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, yang juga menerima suap untuk memengaruhi putusan terkait penanganan perkara korupsi pemeliharaan mobil.
Kasus ini menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi, dengan setidaknya 21 hakim terbukti melakukan praktik lancung sejak KPK berdiri. Predikat “Yang Mulia” yang disandang para hakim ternodai dengan iming-iming rupiah tak halal. Padahal di balik tiganya, tersimpan kemuliaan sebagai Wakil Tuhan yang diberi kewenangan memenuhi rasa keadilan.
Banyak putusan hakim yang menimbulkan keresahan publik. Hal itu terutama terjadi karena kasus-kasus hukum yang masuk dalam dunia peradilan umumnya berhimpitan dengan politik. Hukum dan politik acapkali berkontraksi karena ada kepentingan Penguasa di dalamnya.
Ketika politik mendominasi maka hukum bukan hanya kalah, tetapi malah dimanfaatkan sebagai alat untuk menindas. Jika tidak dengan maksud mewujudkan keadilan, maka hukum di tangan Penguasa adalah alat penindasan.
Dalam kondisi demikian, para pencari keadilan sulit berharap kepada negara. Apalagi pada negara yang institusi hukumnya diletakkan dibawa rumpun kekuasaan eksekutif, dibawah komando kekuasaan politik. Kendala struktural seperti ini tampak pada institusi Polri dan Kejaksaan Agung di negeri kita.
Lalu kemana para pencari keadilan terutama bagi mereka yang sering mengeritik Kekuasaan berharap? Jawabannya hanya kepada HAKIM. Bahwa hakim yang dalam prakteknya merdeka dari tekanan kekuasaan politik, harusnya mampu menjawab kegalauan para pencari keadilan.
Posisinya yang relatif mandiri, tampak dari amanat UU dan struktur kekuasaan negara, mesti mampu menjadi garda terakhir untuk menyeleksi semua anasir kekuasaan politik yang mengkontaminasi hasil penyidikan penyidik Polri dan tuntutan Penuntut Umum, yang secara struktural berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif dimana Panglimanya adalah Presiden.
Kecuali posisinya yang relatif independen, profesi hakim sesungguhnya dikokohkan oleh simbol- simbol kemuliaan. Dengan posisi itu, para hakim harusnya mampu menjawab kegalauan hukum dan dengan tegar menjadi tumpuan harapan para pencari keadilan. Keadilan itu adalah kebajikan paling utama yang diletakkan pada posisi paling mulia, baik oleh kitab suci agama-agama besar, maupun oleh para filosuf.
Keadilan, kata Plato (427 SM-347 M), adalah puncak kebahagiaan. Ini karena keadilan lebih dekat dengan perasaan. Aristoteles kemudian merincinya dalam lima bentuk; a. Keadilan Komutatif = perlakuan terhadap sesorang dengan tidak melihat jasa-jasa yg telah diberikannya. b. Keadilan Distributif= perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yg telah diberikannya. c. Keadilan Kodrati = memberi sesuatu sesuai dengan yg diberikan orang lain kepada kita. d.
Keadiln konvensional = keadilan yg diberikan jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yg telah diberikan. e. Keadilan Korektif = keadilan yg diberikan jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yg telah tercemar.
Kitab suci agama-agama besar dunia telah menggambarkan secara rinci tentang keadilan sebagai kebutuhan azasi, yang derajatnya lebih tinggi bagi manusia dibanding nilai kebajikan yang lain.
Al-Qur’an surat Al Maa-idah ayat 8, Allah berfirman; … Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Artinya, keadilan menurut Al-Qur’an, wajib dipenuhi negara bahkan terhadap orang atau kelompok yang dibenci sekalipun.
Kitab Imamat 19 ayat 36 yang diimani umat Kristiani memberikan pencerahan; “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan, mengenai ukuran timbangan dan sukatan”. Pencerahan Kitab Perjanjian Lama ini menggugah para hakim agar sadar akan eksistensinya sebagai wakil Tuhan untuk menengahi sengketa antarmanusia.
Demikian juga keyakinan umat Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra VII.19, dinyatakan, bila vonis itu dijatuhkan dengan benar dan adil, maka semua pihak akan menikmati kebahagiaan. Bila vonis itu dijatuhkan tanpa pertimbangan yang benar dan adil, maka semua sistem hidup akan hancur. Selanjutnya pada Manawa Dharmasastra VII. 20, 21 dan 22 ditegaskan, pemerintahan negara (raja) haruslah tidak jemu-jemunya menghukum yang jahat.
Pesan kitab-kitab suci ini telah secara mantap memposisikan hakim sebagai wakil Tuhan, yang bertanggungjawab langsung kepadaNya. Spirit ilahiah yang kental inilah antara lain membenarkan hakim, acap kali mengutip ayat dalam kitab suci untuk memberi spirit kepada dirinya.
Kecuali simbol-simbol spiritual yang berkelindan dengan tugas dan tanggung jawab, banyak pula atribut yang menandai kemuliaan hakim. “Toga” yang dikenakan hakim misalnya; itu lambang kehormatan atas posisinya yang wajib dihormati siapapun yang berada dalam ruang sidang, betapapun tinggi pangkat, kedudukan dan status sosial orang-orang tersebut.
Toga para hakim berwarna hitam serta warna merah seimbang di dada kiri dan kanan melambangkan bahwa hakim juga masih “gelap” ketika melihat perkara. warna merah itu melambangkan akan penghormatan serta keberanian hakim agar melihat secara adil dari sisi kiri dan sisi kanan serta memutus perkara secara adil bagi kedua belah pihak.
Pasal 230 ayat 2 KUHAP mewajibkan hakim (termasuk jaksa dan PH dalam peradilan pidana) mengenakan toga selama bertugas di ruang sidang. Lebih lanjut, kewajiban tersebut dipertegas dalam SEMA MA No. 6/1966 tentang Pemakaian Toga Dalam Sidang. Di dalam surat edaran yang ditujukan bagi hakim pada pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, para hakim diinstruksikan mengenakan toga dalam sidang-sidang pengadilan untuk menambah suasana khidmat sidang.
Demikian juga letak tempat duduk hakim sengaja dibuat lebih tinggi dengan sandaran kursi melebihi ukuran bahu. Rancang bangun kursi hakim ini memberi sugesti “percaya diri” sekaligus meletakkan hakim bebas menentukan kebenaran dan keadilan berdasarkan jiwa yang merdeka, tidak tunduk kepada pihak manapun.
Pengadilan bertradisi common law, seperti ditulis Shidarta, penulis berbagai buku filsafat hukum dan pendiri Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, memang harus memberi tempat pada para juri yang akan memberi putusan tentang fakta. Dalam konteks penetapan fakta, posisi sentral hakim dalam persidangan diambil alih oleh para juri. Merekalah yang memutuskan bersalah atau tidak bersalah (guilty or not guilty) si terdakwa.
Berbeda dengan itu, tempat bagi juri tidak dikenal dalam tradisi civil law yang asli, kendati beberapa negera Eropa Kontinental ada yang mengadopsinya, seperti Austria dan Belgia. Sebaliknya ada negara eks jajahan Inggris, misalnya Singapura, yang tidak menerapkannya.
Simbol kemuliaan hakim lainnya adalah “palu”. Tidak seorangpun yang berada di ruang sidang dibenarkan memegang palu kecuali hakim. Palu memuliakan hakim dalam hal kepastian dan kewibawaan. Begitu palu diketuk yang menandai sebuah putusan, tak seorang pun berhak membatalkannya, kecuali melalui pengujian sesuai prosedur hukum.
Tentang palu sebagai alat kelengkapan persidangan ada aturannya. Penggunaan dan bunyi ketuk palu pun tidak sembarangan. Ketukan dibuat dengan mengangkat palu lebih 10-15 cm dari meja, dengan sudut kemiringan 50°-60°, diketuk dengan suara yang dapat terdengar oleh seluruh hadirin.
Selain itu, makna ketukan pun diatur dengan spesifik, seperti 1 kali ketuk berarti putusan sah atau skors, sementara itu 2 kali ketuk untuk pencabutan skors atau waktu lobby, sedangkan 3 kali ketuk saat pembukaan maupun penutupan sidang.
Palu memiliki catatan sejarah, tercatat telah dipergunakan sejak jaman purbakala, bahkan disebut sejak 2.400.000 SM, bentuknya sederhana dan mengalami perubahan pada 30.000 SM diperiode tengah Zaman Paleolitik Batu, sehingga palu dikategorikan sebagai alat bantu manusia tertua.
Dipergunakannya palu dalam Persidangan, ditengarai dimulai pada saat Pasca Revolusi Perancis. Periode 1789–1799 tersebut terjadi pergolakan perlawanan melawan monarki dan rakyat membentuk konstitusi baru, dimana konsensus dibangun dengan lonceng gereja, namun tidak praktis, hingga palu dan bunyi palu kemudian dipergunakan untuk menyatakan persetujuan akan ketentuan baru.
Revolusi yang meruntuhkan monarki tersebut kemudian digantikan dengan bekal prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Palu pun memiliki akar sejarah dalam mitologi Nordik (norwegia Kuno), dimana benda berupa palu godam (Mjolnir) dipergunakan sebagai senjata ampuh yang mampu menimbulkan petir, yang dipergunakan kemudian oleh Dewa Petir yakni Thor yang kemudian dipercaya sebagai lambang perlindungan oleh bangsa Viking.
Demikianlah beberapa catatan mengenai simbol-simbol kemuliaan hakim baik dari segi filosofis, yuridis maupun historis. Pada hakekatnya simbol-simbol kemuliaan itu disematkan kepada hakim karena tanggungjawab atas semua putusannya adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis adalah Managing Director Kantor Hukum GIS LAW FIRM, domisili di Jakarta
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Rabu 7 Mei…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Akhirnya Ketua…
DEPOK, PINTASSATU.com – Tindak pidana perdagangan orang…
DEPOK, PINTASSATU.com I – Rupanya program pemutihan…
KABUPATEN BOGOR, PINTASSATU.com I Malang benar nasib…
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Untuk membangun…