WhatsApp Image 2025-05-03 at 14.42.22_13911e40

Hakim dan Simbol-Simbol Kemuliaan

Admin | May 8, 2025

gaw

Oleh: Mohammad S. Gawi

Keadilan adalah kebutuhan azasi manusia. Kebutuhan manusia akan keadilan tumbuh dari kenyataan bahwa dunia manusia penuh dengan perbedaan. Keadilan adalah perasaan, sedangkan perbedaan adalah kenyataan. Menyetarakan perbedaan adalah bagian dari  upaya mewujudkan keadilan.

Untuk mewujudkan keadilan itulah, manusia menciptakan hukum dengan segenap perangkat dan sistemnya. Norma hukum dibuat, aparat dan  lembaga hukum diadakan dan  sistem diciptakan. Hakim yang diberi wewenang sedikit lebih tinggi untuk memberi dan  memenuhi rasa keadilan bila terjadi sengketa atau kasus hukum. Itulah sebabnya, hakim  diletakkan pada posisi lebih tinggi dan  diberi kepercayaan sebagai Wakil Tuhan.

Sayangnya, belakangan ini, para Wakil Tuhan (hakim) mengalami dagradasi kemuliaan. Kasus terkini terjadi di Surabaya. Tiga hakim  PN Surabaya diciduk Kejaksaan Agung dan  ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga hakim  diduga kuat menerima suap terkait vonis bebas terhadap Ronald Tanur dalam perkara penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afriyanti. Kasus ini merembet hingga ke hakim agung.

Belum hilang dari  ingatan kita Kasus Suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati, yang kemudian terbukti menerima suap dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung.

Kasus yang sama menimpa hakim  Pragsono, Hakim Pengadilan Tipikor  Semarang, yang juga menerima suap untuk memengaruhi putusan terkait penanganan perkara korupsi pemeliharaan mobil.

Kasus ini menambah panjang daftar hakim  yang terjerat korupsi, dengan setidaknya 21 hakim terbukti melakukan praktik lancung sejak KPK berdiri. Predikat “Yang  Mulia” yang disandang para hakim  ternodai dengan iming-iming rupiah tak halal.  Padahal di balik tiganya, tersimpan kemuliaan sebagai Wakil Tuhan yang diberi kewenangan memenuhi rasa keadilan.

Banyak putusan hakim  yang menimbulkan keresahan publik. Hal itu terutama terjadi karena kasus-kasus hukum yang masuk dalam dunia peradilan umumnya berhimpitan dengan politik. Hukum  dan  politik acapkali berkontraksi karena ada kepentingan Penguasa di dalamnya.

Ketika politik mendominasi maka hukum bukan hanya kalah, tetapi malah dimanfaatkan sebagai alat untuk menindas. Jika tidak dengan maksud mewujudkan keadilan, maka hukum di tangan Penguasa adalah alat penindasan.

Dalam  kondisi demikian, para pencari keadilan sulit berharap kepada negara. Apalagi pada negara yang institusi hukumnya diletakkan dibawa rumpun kekuasaan eksekutif, dibawah komando kekuasaan politik. Kendala struktural seperti ini tampak pada institusi Polri dan Kejaksaan Agung di negeri kita.

Lalu kemana para pencari keadilan terutama bagi  mereka yang sering mengeritik Kekuasaan berharap? Jawabannya hanya kepada HAKIM. Bahwa hakim  yang dalam prakteknya merdeka dari tekanan kekuasaan politik, harusnya mampu menjawab kegalauan para pencari keadilan.

Posisinya yang relatif mandiri, tampak dari  amanat UU dan  struktur kekuasaan negara, mesti mampu menjadi garda terakhir untuk menyeleksi semua anasir kekuasaan politik yang mengkontaminasi hasil penyidikan penyidik Polri dan  tuntutan Penuntut Umum, yang secara struktural berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif dimana Panglimanya adalah Presiden.

Kecuali posisinya yang relatif independen, profesi hakim   sesungguhnya dikokohkan oleh simbol- simbol kemuliaan. Dengan posisi itu, para hakim  harusnya mampu menjawab kegalauan hukum dan dengan tegar menjadi tumpuan harapan para pencari keadilan. Keadilan itu adalah kebajikan paling utama yang diletakkan pada posisi paling mulia,  baik  oleh kitab suci agama-agama besar, maupun oleh  para filosuf.

Keadilan, kata Plato (427 SM-347 M), adalah puncak kebahagiaan. Ini karena keadilan lebih dekat dengan perasaan. Aristoteles kemudian merincinya dalam lima bentuk; a. Keadilan Komutatif = perlakuan terhadap sesorang dengan tidak melihat jasa-jasa yg telah diberikannya. b. Keadilan Distributif= perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yg telah diberikannya. c. Keadilan Kodrati = memberi sesuatu sesuai dengan yg diberikan orang lain kepada kita. d.

Keadiln  konvensional = keadilan yg diberikan jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yg telah diberikan. e. Keadilan Korektif = keadilan yg diberikan jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik  orang lain yg telah tercemar.

Kitab suci agama-agama besar dunia telah menggambarkan secara rinci tentang keadilan sebagai kebutuhan azasi, yang derajatnya lebih  tinggi bagi  manusia dibanding nilai kebajikan yang lain.

Al-Qur’an surat Al Maa-idah ayat 8, Allah berfirman; … Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Artinya, keadilan menurut Al-Qur’an, wajib dipenuhi negara bahkan terhadap orang atau kelompok yang dibenci sekalipun.

Kitab Imamat 19 ayat 36 yang diimani  umat Kristiani memberikan pencerahan; “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan, mengenai ukuran timbangan dan  sukatan”. Pencerahan Kitab Perjanjian Lama  ini menggugah para hakim  agar sadar akan eksistensinya sebagai wakil Tuhan untuk menengahi sengketa antarmanusia.

Demikian juga  keyakinan umat Hindu.  Dalam  Manawa Dharmasastra VII.19,  dinyatakan, bila vonis itu dijatuhkan dengan benar dan  adil, maka semua pihak akan menikmati kebahagiaan. Bila vonis itu dijatuhkan tanpa pertimbangan yang benar dan adil, maka semua sistem hidup akan hancur. Selanjutnya pada Manawa Dharmasastra VII. 20,  21 dan  22 ditegaskan, pemerintahan negara (raja) haruslah tidak jemu-jemunya menghukum yang jahat.

Pesan kitab-kitab suci ini telah secara mantap memposisikan hakim  sebagai wakil Tuhan, yang bertanggungjawab langsung kepadaNya. Spirit  ilahiah  yang kental inilah antara lain membenarkan hakim, acap kali mengutip ayat dalam kitab suci untuk memberi spirit kepada dirinya.

Kecuali simbol-simbol spiritual yang berkelindan dengan tugas dan  tanggung jawab, banyak pula atribut yang menandai kemuliaan hakim. “Toga” yang dikenakan hakim  misalnya; itu lambang kehormatan atas posisinya yang wajib dihormati siapapun yang berada dalam ruang sidang, betapapun tinggi pangkat, kedudukan dan  status sosial orang-orang tersebut.

Toga para hakim  berwarna hitam serta warna merah seimbang di dada kiri dan  kanan melambangkan bahwa hakim  juga  masih “gelap” ketika melihat perkara. warna merah itu melambangkan akan penghormatan serta keberanian hakim  agar melihat secara adil dari  sisi kiri dan  sisi kanan serta memutus perkara secara adil bagi  kedua belah pihak.

Pasal 230 ayat 2 KUHAP mewajibkan hakim  (termasuk jaksa dan  PH dalam peradilan pidana) mengenakan toga selama bertugas di ruang sidang. Lebih  lanjut, kewajiban tersebut dipertegas dalam SEMA MA No. 6/1966 tentang Pemakaian Toga Dalam  Sidang. Di dalam surat edaran yang ditujukan bagi  hakim  pada pengadilan tinggi dan  pengadilan negeri, para hakim  diinstruksikan mengenakan toga dalam sidang-sidang pengadilan untuk menambah suasana khidmat sidang.

Demikian juga  letak tempat duduk hakim  sengaja dibuat lebih tinggi dengan sandaran kursi melebihi ukuran bahu. Rancang bangun kursi hakim  ini memberi sugesti “percaya diri” sekaligus meletakkan hakim  bebas menentukan kebenaran dan  keadilan berdasarkan jiwa yang merdeka, tidak tunduk kepada pihak manapun.

Pengadilan bertradisi common law, seperti ditulis Shidarta, penulis berbagai buku filsafat hukum dan  pendiri Asosiasi Filsafat Hukum  Indonesia, memang harus memberi tempat pada para juri yang akan memberi putusan tentang fakta. Dalam  konteks penetapan fakta, posisi sentral hakim dalam persidangan diambil alih oleh para juri. Merekalah yang memutuskan bersalah atau tidak bersalah (guilty or not guilty) si terdakwa.

Berbeda dengan itu, tempat bagi  juri tidak dikenal dalam tradisi civil law yang asli, kendati beberapa negera Eropa Kontinental ada yang mengadopsinya, seperti Austria dan  Belgia. Sebaliknya ada negara eks jajahan Inggris, misalnya Singapura, yang tidak menerapkannya.

Simbol kemuliaan hakim  lainnya adalah “palu”. Tidak  seorangpun yang berada di ruang sidang dibenarkan memegang palu  kecuali hakim. Palu  memuliakan hakim  dalam hal kepastian dan kewibawaan. Begitu palu  diketuk yang menandai sebuah putusan, tak seorang pun  berhak membatalkannya, kecuali melalui pengujian sesuai prosedur hukum.

Tentang palu  sebagai alat kelengkapan persidangan ada aturannya. Penggunaan dan  bunyi  ketuk palu  pun  tidak sembarangan. Ketukan dibuat dengan mengangkat palu  lebih 10-15 cm dari  meja, dengan sudut kemiringan 50°-60°, diketuk dengan suara yang dapat terdengar oleh seluruh hadirin.

Selain itu, makna ketukan pun  diatur dengan spesifik, seperti 1 kali ketuk berarti putusan sah atau skors, sementara itu 2 kali ketuk untuk pencabutan skors atau waktu lobby, sedangkan 3 kali ketuk saat pembukaan maupun penutupan sidang.

Palu  memiliki catatan sejarah, tercatat telah dipergunakan sejak jaman purbakala, bahkan disebut sejak 2.400.000 SM, bentuknya sederhana dan  mengalami perubahan pada 30.000 SM diperiode tengah Zaman Paleolitik Batu, sehingga palu  dikategorikan sebagai alat bantu manusia tertua.

Dipergunakannya palu  dalam Persidangan, ditengarai dimulai  pada saat Pasca Revolusi Perancis. Periode 1789–1799 tersebut terjadi pergolakan perlawanan melawan monarki dan  rakyat membentuk konstitusi baru, dimana konsensus dibangun dengan lonceng gereja, namun tidak praktis, hingga palu  dan  bunyi  palu  kemudian dipergunakan untuk menyatakan persetujuan akan ketentuan baru.

Revolusi yang meruntuhkan monarki tersebut kemudian digantikan dengan bekal prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).

Palu  pun  memiliki akar  sejarah dalam mitologi Nordik  (norwegia Kuno),  dimana benda berupa palu  godam (Mjolnir) dipergunakan sebagai senjata ampuh yang mampu menimbulkan petir, yang dipergunakan kemudian oleh Dewa Petir yakni  Thor  yang kemudian dipercaya sebagai lambang perlindungan oleh bangsa Viking.

Demikianlah beberapa catatan mengenai simbol-simbol kemuliaan hakim  baik  dari  segi filosofis, yuridis maupun historis. Pada hakekatnya simbol-simbol kemuliaan itu disematkan kepada hakim karena tanggungjawab atas semua putusannya adalah kepada Tuhan Yang  Maha  Esa.

Penulis adalah Managing Director Kantor Hukum  GIS LAW FIRM, domisili di Jakarta

 

Posted in ,

Berita Menarik

Tokoh Pemuda Dompu Tolak PPS

JAKARTA I Pintassatu.Com I – Tokoh pemuda…

NTB Siap Jadi Tuan Rumah PON XII

Pintassatu.com, Jakarta – Pada tahun 2028 PON…

Samarinda Dikepung Banjir

KOTA SAMARINDA I Pintassatu.Com I – Kota…

Sempat Sebut Sutiyoso “Bau Tanah”, Hercules Minta Maaf dan Cium Tangan Sutiyoso

JAKARTA I Pintassatu.com I – Akhirnya Ketua…

Baca Juga

Depok Marak Kasus Tindak Pidana Eksploitasi Anak Polisi Berhasil Amankan 2 Pelaku

DEPOK, PINTASSATU.com – Tindak pidana perdagangan orang…

Program Pemutihan Denda Pajak Kendaraan di  Samsat Kota Depok Diduga Jadi Ajang Pungli

DEPOK, PINTASSATU.com I – Rupanya program pemutihan…

Problem Sampah Kota Depok Harus di Mutasi

DEPOK I Pintassatu. com I – Problema…

Tukang Gali Sumur Terkubur dengan Galiannya Sendiri

KABUPATEN BOGOR, PINTASSATU.com I Malang benar nasib…