Gunung Lewotobi Meletus, 6 Gunung di RI Lainnya Waspada!
Headline News
JAKARTA, PINTASSATU.com – Pusat Vulkanlogi dan Mitigasi…
Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)
Pendahuluan
“Aceh punya hak atas hasil buminya sendiri, tapi yang mengatur tetap Jakarta. Ini bukan otonomi, ini dominasi.”
Aceh dikenal sebagai wilayah istimewa dengan status kekhususan. Namun, ketika menyentuh isu pengelolaan sumber daya alam, terutama ladang gas dengan potensi 10.000 triliun cubic feet (tcf), pertanyaan besarnya bukan lagi soal kekhususan, melainkan soal keadilan fiskal.
Narasi desentralisasi yang lahir dari semangat reformasi 1998 menjadi tumpul ketika kewenangan fiskal dan perizinan kembali tersentralisasi di pusat. Pemerintah pusat—melalui regulasi seperti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan skema Dana Bagi Hasil (DBH)— masih memegang kendali dominan atas sumber daya daerah. Aceh, meski dijanjikan
keistimewaan lewat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tetap tak berdaulat dalam pengelolaan kekayaan gas alamnya.
Ketimpangan Struktural dalam Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil yang seharusnya menjadi mekanisme distribusi fiskal yang adil, kerap kali justru menjadi instrumen sentralisasi terselubung. Dalam praktiknya, pemerintah pusat menetapkan porsi DBH yang tidak mencerminkan realitas kontribusi daerah terhadap PDB nasional. Untuk sumber daya alam gas bumi, Pasal 14 PP No. 55 Tahun 2005 hanya memberikan jatah 6% untuk provinsi penghasil. Padahal biaya sosial, lingkungan, hingga keamanan sepenuhnya ditanggung oleh daerah.
Aceh adalah ilustrasi nyata. Data Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) menunjukkan bahwa potensi gas alam di wilayah Aceh mencapai lebih dari 10.000 tcf, yang bila dikonversi dalam nilai ekonomis bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Namun realisasi bagi hasil dan pengaruh terhadap APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) sangat minim. Apakah ini yang dimaksudkan sebagai otonomi sejati?
Teori: Desentralisasi Fiskal yang Pincang
James Manor dan Jean-Paul Faguet, dalam kajian tentang desentralisasi fiskal, menekankan pentingnya revenue assignment yang proporsional antara pusat dan daerah. Kegagalan dalam distribusi fiskal akan menghasilkan asymmetric decentralization, di mana kewenangan
administratif diberikan tanpa dukungan fiskal memadai. Dalam konteks Aceh, ini menjelma sebagai fiscal illusion—seolah-olah daerah berdaulat, padahal hanya menjalankan mandat fiskal dari pusat.
Apa Kata Konstitusi dan UU Pemerintahan Aceh?
Pasal 18B UUD 1945 menjamin pengakuan terhadap keistimewaan dan kekhususan daerah. Dalam konteks Aceh, UU No. 11 Tahun 2006 secara eksplisit memberikan kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. Namun, dalam praktik, implementasi UU ini sering tersandung pada tafsir sektoral kementerian. Pemerintah pusat melalui SKK Migas, tetap menjadi aktor utama dalam perizinan dan pengawasan ladang migas Aceh.
Ini menunjukkan terjadinya legal dualism, yaitu ketika undang-undang khusus Aceh berbenturan dengan regulasi sektoral nasional. Maka, bukan hanya soal dana, tapi juga pengakuan terhadap hak kolektif masyarakat adat dan daerah untuk menentukan nasib atas sumber daya mereka.
Urgensi Revisi Skema Dana Bagi Hasil
Pemerintah pusat harus berani membuka ruang negosiasi ulang terhadap skema DBH. Porsi 6% untuk daerah penghasil bukan saja tidak adil, tapi juga berpotensi memperbesar kesenjangan regional. Dengan potensi gas 10.000 tcf, Aceh berhak memperoleh setidaknya 30% porsi bagi hasil yang dialokasikan secara langsung dalam APBA dan bukan melalui hibah pusat yang sarat politisasi.
Keadilan dan Kedaulatan Ekonomi Daerah
Dalam perspektif ekonomi politik, seperti disampaikan oleh Amartya Sen, keadilan bukan hanya distribusi sumber daya, tetapi kemampuan untuk menentukan kebijakan atas sumber daya itu sendiri. Jika Aceh tetap menjadi objek eksploitasi tanpa kendali atas hasilnya, maka otonomi tinggal nama, dan keadilan ekonomi adalah ilusi.
Belajar dari Arun dan Pangkalan Brandan: Luka Lama Eksploitasi Tanpa Keadilan
Aceh bukan hanya soal potensi—Aceh adalah sejarah. Sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam yang ironisnya hanya menyisakan kerusakan lingkungan, kemiskinan struktural, dan konflik sosial. Dua contoh klasik adalah PT Arun LNG di Lhokseumawe dan kilang minyak Pangkalan Brandan di Sumatera Utara.
PT Arun LNG yang berdiri sejak 1974 adalah ikon keberhasilan ekspor gas nasional—disebut- sebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia pada era Orde Baru. Gas dari Blok Arun diekspor ke Jepang, Korea, dan Taiwan, menghasilkan puluhan miliar dolar AS. Namun,
ironisnya, masyarakat di sekitar kilang justru hidup dalam kemiskinan. Infrastruktur dasar minim, dan kawasan Lhokseumawe dikepung pengangguran setelah proyek selesai.
Dalam laporan Komnas HAM dan berbagai kajian akademik (Hadiwinata, 2003; Schulze, 2006), eksploitasi Blok Arun bahkan disebut sebagai pemicu ketimpangan struktural yang memperparah konflik Aceh 1998–2005. Kekayaan bumi Aceh diekspor ke luar negeri, tapi sedikit sekali yang kembali ke masyarakat. Pola sentralistik dan monopolisasi SDA oleh pusat menjadi benih ketidakpercayaan terhadap negara.
Sementara itu, kilang minyak Pangkalan Brandan—yang disebut sebagai titik awal industri minyak bumi Indonesia sejak ditemukan Belanda tahun 1885—mengalami nasib serupa. Setelah beroperasi selama lebih dari satu abad, kawasan ini tak pernah benar-benar merasakan hasil eksploitasi minyak. Infrastruktur tertinggal, pencemaran air dan tanah terjadi, sementara hasil produksi dibawa ke pusat-pusat industri nasional.
Kedua contoh ini menjadi pelajaran nyata: eksploitasi tanpa distribusi yang adil hanya akan melahirkan perlawanan sosial. Otonomi daerah yang dijanjikan pascareformasi seharusnya menjawab luka sejarah ini—bukan mengulangnya dalam bentuk baru yang lebih halus, tapi tetap menyakitkan.
Penutup
Otonomi daerah sejatinya bukan sekadar urusan administratif, tetapi komitmen politik untuk menghormati hak konstitusional daerah. Eksploitasi sumber daya Aceh harus menjadi pintu masuk untuk membangun ulang kesepakatan fiskal nasional. Jika tidak, maka narasi desentralisasi hanya akan menjadi catatan kaki dari sejarah sentralisme yang terus berulang.
Posted in Indeks Berita, Opini
JAKARTA, PINTASSATU.com – Pusat Vulkanlogi dan Mitigasi…
BANDA ACEH – Minyak nilam asal Aceh…
PANGKAL PINANG I Pintassatu.com | – Gubernur…
LANGSA I Pintassatu.Com I – Aksi mengejutkan…
JAWA TIMUR, PINTASSATU.com – Terkait Kasus dugaan…
JAKARTA, PINTASSATU.com – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan…
JAKARTA, PINTASSATU.com – 24 Juni 2025, Wakil…
BOGOR KOTA I Pintassatu.com I Kebutuhan masyarakat…
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Senin 26…
KOTA BOGOR, PINTASSATU.com – Sekretaris Jenderal (Sekjen)…