WhatsApp Image 2025-05-03 at 14.42.22_13911e40

Bandit Politik Dari Pilkada ke Pilkada

Admin | May 22, 2025

al farisi

Al Farisi Thalib
Tenaga Ahli Fraksi Golkar DPR RI/
Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies (IPS)

Gagap gempita gerakan reformasi Mei 1998 yang sukses menumbangkan dinasti kekuasaan Jenderal Soeharto, banyak orang menaruh harapan terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik. Selain itu, kejadian-kejadian yang dialami selama masa Orde Baru biarlah menjadi duka lara di masa silam yang kelam itu, praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat disudahi, penyalahgunaan kekuasaan, kebebasan pilihan politik dapat terjamin, pemilu yang jujur, bebas, dan adil dapat terlaksana dengan baik. Karena di masa reformasi, ruang kontrol rakyat semakin besar, kekuatan civil sociaty telah akan mampu menyeimbangi negara, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hadir sebagai lembaga perwakilan yang independen dan institusi rakyat yang bisa mengawasi langsung segala kebijakan dan jalannya pemerintahan. 

Namun ironis, pada kenyataannya pasca reformasi, si pengawas yang diharapkan independen dan galak (wacth dog) dalam mengawasi kekuasaan, menyampaikan aspirasi rakyat, memperjuangkan hak-hak rakyat, memberikan jaminan hukum yang adil dan bijaksana pada rakyat—justru di era reformasi—semakin melacurkan diri dalam kekuasaan, semakin buas dalam menghisap sumber daya dan hak rakyat, dan melahirkan lebih banyak “penjahat baru”.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 385 Anggota DPR/DPRD yang terjerat kasus tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2024, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Begitu juga dengan kepala daerah, sejak tahun 2004-2022 tidak kurang dari 22 Gubernur dan 148 Bupati/Walikota dan Wakilnya telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum (ICW, 2022).

Data secara keseluruhan jumlah kasus serupa yang ditangani oleh KPK lebih miris lagi. “Sejak tahun 2004 hingga tahun 2023, terdapat 601 kasus korupsi terjadi pada pemerintah kabupaten, kota, melibatkan wali kota, bupati, dan jajarannya,” kata Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwidjanto Sudjadi melalui keterangan tertulis, Selasa (12/3/2024).

Kenapa kondisi ini semakin parah, bukankah setelah reformasi dibangun di atas sistem demokrasi, suatu sistem yang dianggap baik sebagai antitesa terhadap otoritarianisme yang terapkan selama Orde Baru, yaitu memberi keterbukaan informasi pada publik, pengawasan dan kontrol ketat dari rakyat dan wakilnya di DPR. Dengan prinsip-prinsip reformasi dan demokrasi itu semestinya arah bangsa kita menjadi lebih baik.

Kondisi ini menurut Noreena Hertz dalam Silent Takeover: Blobal Capitalism and the Death of Democracy, disebabkan oleh “bandit politik”. Walaupun para politisi itu dipilih langsung oleh rakyat, tetapi begitu terpilih, mereka mengabaikan konstituennya. Rakyat dicampakkan, para politisi malah sibuk menjadi pelayan oligark, bos-bos perusahaan nasional dan multinasional.  Dalam proses demokrasi saat ini, kata Hertz, oligarkilah yang berdaulat, bukan rakyat atau warga negara. Prinsipnya, mereka membiarkan sirkulasi politik berjalan secara demokratis, begitu pejabat negara terpilih mereka dengan mudah menaklukkan para politisi-politisi itu, mulai dari presiden, perdana menteri, ketua parlemen, dan kepala-kepala daerah di setiap wilayah (Noreena Hertz, 2021).

                Memang terdapat prinsip demokrasi “dari rakyat” yang dibangun, tetapi tidak “untuk rakyat”, apalagi “oleh rakyat”. Begitu juga dengan suksesi politik, terutama dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), hanyalah sebuah ajang pesta lima tahunan yang tidak berdampak baik untuk masa depan rakyat. Pilkada dan pemilu lainnya hanyalah mengenai sebuah metode pemilihan lewat voting, tidak ada hubungannya dengan kedaulatan rakyat, karena pasca reformasi menjadi ruang besar bagi tumbuh dan berkembangnya kebebasan, termasuk tumbuh dan berkembangnya “penjahat-penjahat baru”, dengan menggunakan berbagai cara, termasuk Pilkada, sebagai peluang mereka “menjarah” sumber daya alam dan hak rakyat. Secara deskriptif, penjahat-penjahat baru itu disebut sebagai “bandit-bandit”.

Jenis Bandit dan Cara Kerjanya

                Agar memudahkan memahami pengertian tentang bandit, perlu kiranya diberikan definisi operasional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bandit diartikan sebagai penjahat, pencuri, atau penyamu. Demikian juga dalam pengertian bahasa Inggris, bandit diartikan sebagai penjahat atau kelompok perampok yang melakukan penjarahan. Secara deskriptif, bandit merupakan kata sifat yang mensifati segala sikap dan perilaku seseorang, sekaligus kata kerja yang menunjukkan aktifitas atau perbuatan yang sedang dilakukan oleh seseorang. Sebagai kata sifat, perbuatan seperti ini tidak hanya dilakukan atau terdapat pada seseorang atau kelompok penjahat seperti halnya para begal yang melakukan perampokan dan pembunuhan di Jakarta secara sadis, tetapi  juga dilakukan oleh politisi, pejabat negara atau pengusaha dalam dunia pemerintahan atau politik. Walaupun model dan cara kerjanya berbeda, tetapi relatif, sifat dan spiritnya terdapat kemiripan.

                Ekonom dan ilmuwan sosial dari University of Maryland, College Park, Amerika Serikat, Mancur Olson, mengajukan pertanyaan menggugat—walaupun tidak secara langsung bicara tentang sistem politik atau demokrasi—mengapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tidak kunjung datang? Selain itu, Olson juga mempertanyakan tentang reformasi, walaupun itu reformasi di Rusia, tetapi dapat memberi otokritik pada Indonesia, bahwa mengapa pasca rezim represif runtuh, bukan kesejahteraan yang muncul melainkan kelompok kejahatan baru? Dari pertanyaan yang diajukan tersebut, Olson sekaligus memberikan jawaban bahwa sebabnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh para bandit. Dalam bukunya Power of Prosperity, Olson mengemukakan bahwa, dalam politik bandit teridentifikasi memiliki dua jenis yaitu: bandit menetap atau stationary bandits dan bandit pengembara atau roving bandits (Mancur Lioyd Olson, 2001). 

                Pertama, stationary bandits. Cara kerja jenis bandit ini, yaitu melakukan penjarahan dan mengambil segala macam harta, kekayaan dan sumber daya yang diinginkan secara bertahap, dengan tetap menyimpan sisa dalam ukuran atau kadar tertentu. Bandit jenis ini tidak akan mengambil semuanya, karena dengan kekuasaan yang ia miliki memungkinkannya untuk menetap lebih lama pada suatu tempat (masa kekuasaan), sehingga demi kelangsungan kuasanya dan bisnisnya ia hanya mengambil atau menjarah kekayaan secara terukur. Proses penjarahannya akan ditentukan seberapa lama ia akan menetap, jika periode menetapnya lebih lama maka ukuran penjarahannya semakin kecil, sebaliknya jika periode menetapnya lebih singkat maka ukuran jarahannya semakin besar dan buas. Dengan kata lain, bandit jenis ini tidak menjarah sesuatu dengan cara sekali habis, tetapi dilakukan secara bertahap mengikuti periodesasi masa jabatannya.

                Jenis bandit menetap biasanya terdapat dalam suatu rezim yang represif. Perilaku rezim seperti ini, menurut I. Wibowo, tidak akan menguras habis wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus menarik berbagai pungutan. Masih kata Wibowo, ketika Indonesia di bawah Soeharto, “orang kuat” ini menguasai seluruh Indonesia dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kekuatan Soeharto berhasil membuat semua orang bergantung padanya. Sementara itu, orang-orang di sekitarnya merasa senang dan nyaman, tak hanya mendapat perlindungan, juga sedikit kekayaan. Memang Soeharto terkenal membagi-bagikan kemurahan hatinya kepada semua orang yang mau mengabdi padanya, seperti pegawai negeri, pengusaha swasta, dan militer. Sehingga itu, rezim ini disebut bandit menetap (stationary bandits) (Wibowo, 2010).

                Sebagai stationary bandits, ia membuat sebuat reputasi yang cukup baik, yaitu menciptakan stabilitas yang lumayan sehingga dipuji Bank Dunia akan menjadi “macan Asia”. Hal ini membuat orang percaya, ada hubungan yang erat antara stabilitas dan peningkatan ekonomi. Sehingga membuang sebagian besar masyarakat Indonesia tidak sadar bahwa mereka sedang dijarah dan dihisap urat nadinya. Sebab sebagai bandit yang menetap, ia tak menguras habis kekayaan bangsa, juga tak mengembangkannya. Ia membiarkan bangsa ini berkembang pada tingkat tertentu yang cukup bagi penduduknya untuk berusaha, dan cukup pula untuk dikuras.

                Kedua, roving bandits. Menurut Olson, begitu bandit menetap runtuh, maka muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang “tuan”. Jika semula mereka tunduk dan membungkuk di depan tuan besar, kini mereka bebas tanpa ada ikatan untuk menjalankan perintah siapapun. Tak ada yang mereka takuti. Mereka menjelma sebagai pemalak dan pemeras yang siaga menjalankan aksinya secara sporadis.

                Jenis bandit ini dapat dicontohkan sebagai pejabat atau penguasa yang karena ketakutan akan diganti maka akan merampok atau menjarah apapun yang bisa diambil sepanjang ia mampu. Meningkatnya insting seperti ini, sebagaimana bandit yang tiba-tiba datang ke sebuah desa atau wilayah untuk merampok, mengeksploitasi, atau mengambil apapun lalu pergi. Tipe bandit seperti ini walaupun akan mengambil semua yang diambil dan meninggalkan wilayah tersebut porakporanda, namun tidak menutup kemungkinan suatu saat mereka akan datang lagi.

                Mencermati pola perpolitikan kita, kita bisa melihat bahwa kedua tipe bandit itu ada di sekitar bahkan di hadapan kita saat ini. Baik yang menetap (stationary bandits) ataupun yang pengembara (roving bandits). Bandit pengembara, cirinya tidak berpikir panjang, yang penting dapat, dan banyak mumpung ada kesempatan karena belum tentu bisa bertahan lagi, bisa saja suatu saat akan digantikan oleh sistem atau penguasa yang lain, baik melalui pemilu maupun melalui gerakan revolusi. Karena baginya tidak ada yang dapat memberikan jaminan ia akan bertahan dalam kekuasaannya selama lima tahun dalam pemilu. Kita saksikan bagaimana baik legislator ataupun eksekutif dalam hal ini bupati/walikota dan gubernur akan berlaku demikian. tidak heran timbul istilah mencari setoran untuk mengembalikan modal politik yang besar. Kalau nanti ada kesempatan menang lagi, urusan nanti dan ambil lagi. Bisa-bisa menjadi bandit menetap, namun ada suatu bentuk yang bertransformasi karena pembatasan jabatan di eksekutif, namun jangan salah ketika ia bisa berakrobat naik turun, dari menteri besok menjadi bupati suatu saat akan menjadi gubernur, dan waktu lain menjadi legislatif.

                Bandit menetap, ini jelas dilakukan oleh raja-raja kecil yang menghisap apapun yang ada. Pelan namun pasti bahwa rakyat menjadi alat mereka untuk mendapatkan keuntungan sendiri dan kelompok. Kesempatan masih dibuka untuk orang lain dan rakyat untuk berkembang yang hanya seolah-olah dan itu dalam genggamannya. Apa yang membahayakannya akan dilibas demi mendapatkan semua orientasinya, yaitu kekuasaan yang berpusat pada kekayaan.

                Olson, memisahkan dengan tajam antara bandit menetap dan bandit pengembara, kalau di sini ternyata, bandit pengembara itu hanyalah sebuah bentuk dari bandit menetap yang terfasilitasi oleh hukum yang masih mendua. Bentuknya tetap bandit namun bisa berubah-ubah peran, bisa di pusat, kadang di daerah, suatu saat di eksekutif dan bisa lagi masuk di legislatif, dan lebih celaka lagi bandit-bandit itu bisa pula di lembaga penegak hukum. Tidak heran keluar istilah rakyat hanya diingat saat kampanye dan Pilkada atau pemilu saja, jelas saja, karena pemilu dipakai untuk legitimasi kekuasaan mereka. Ketika kekuasaan sudah diperoleh, masyarakat biar saja berusaha sendiri, kalau ada kebaikan itu kecelakaan yang berupa kebaikan yang tidak disengaja.

                Apakah seburuk itu? Sepanjang demokrasi kita masih seperti ini, orang baik yang benar-benar mengabdi tersisihkan oleh bandit-bandit ini ya demikian adanya. Harapan perlu kita pupuk menyaksikan banyak orang baik masih ada dan itu makin hari makin banyak.

 

Posted in

Berita Menarik

Surat Terbuka Muzakir Manaf Kepada Presiden Prabowo Subianto

ACEH, PINTASSATU.com ⸻⸻ “Pulau Kami, Harga Diri…

Minta Pembentukan PPS Dipercepat KP4S Aksi Demonstari di Pelabuhan Tano

SUMBAWA BARAT I Pintassatu.Com I — Mulai…

Gubernur Babel Melepas 370 Jamaah Haji 2025, di Terminal VIP Bandara Depati Amir

PANGKAL PINANG I Pintassatu.com | – Gubernur…

Warga Serahkan Dua Senjata Api Rakitan ke Polres Langsa

LANGSA I Pintassatu.Com I  – Aksi mengejutkan…

Keren! Pertamina Mandalika International Circuit Raih Homologasi Grade 3 FIA

MANDALIKA  I Pintassatu.Com I – Pertamina Mandalika…

Baca Juga

Jalur Tol Bogor – Serpong Segera Dibangun Setelah Adanya Kesepakatan Pemilik Lahan

BOGOR I Pintassatu.com I — Rupanya pembayaran…

PB HMI Serukan “Jaga Raja Ampat”

JAKARTA I Pintassatu.com I – Pengurus Besar…

Kombas8connection dan PP KB PII, Selenggarakan Diskusi Bisnis Ketahanan Keluarga, Ketahanan Pangan

JAKARTA, PINTASSATU.com – 17 Juni 2025, Diskusi…

Walikota Depok Mulai Hari Ini Diberlakukan Jam Malam Untuk Pelajar

DEPOK I Pintassatu com I – Pemkot…

Ada yang Menangis Tidak Lolos Masuk UI. 1.602 Orang Lolos Menjadi Mahasiswa Baru

DEPOK, PINTASSATU.com – Mungkin karena cita-citanya masuk…