Bank DKI dan BJB Beri Kredit untuk Sritex meski Tak Penuhi Syarat
Crime News
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Kejaksaan Agung…
Oleh: Risam Purnama, S.H
(Aktivis PMII/Mahasiswa Pascasarjana S2 UIN SGD Bandung)
Homo Sacer merupakan cara Giorgio Agamben (Filsuf Italia yang mengembangkan pemikiran Martin Heidegger yang seorang Marxis) menjelaskan adanya kutukan bagi warga negara, oleh negara itu sendiri.
Secara gramatikal, homo sacer sendiri merupakan istilah bagi seseorang yang berada di luar perlindungan hukum, bahkan di luar perlindungan ilahi, sehingga dapat dibunuh namun kematiannya tidak dapat dianggap sebagai korban.
Homo sacer juga merupakan warga negara yang kehilangan fungsinya untuk berpartisipasi, kehilangan hak-hak konstitusionalnya sehingga keberadaannya pun seperti tidak ada dan tidak diperhitungkan ataupun dipedulikan, kecuali ketika musim kampanye.
Mereka adalah kaum mustadh’afin, kelompok terpinggirkan dan tertindas yang sulit sekali menyampaikan pengalaman dan perspektifnya secara efektif.
Kelompok yang saking lemahnya seringkali disuarakan oleh kelompok lain, sebab tidak mampu menyuarakan dirinya sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai peristiwa. Misalnya, kelompok masyarakat adat di Indonesia begitu banyak, sekitar 2.449 komunitas.
Hadirnya kelompok tersebut sebagai bentuk keberadaan wilayah-wilayah yang menggunakan hukum adat.
Dalam konteks hukum progresif, sebagaimana digagas Prof. Satjipto Rahardjo, merupakan keniscayaan apabila dalam suatu wilayah terdapat masyarakat yang berpegang teguh pada hukum adat, bukannya pada hukum nasional.
Akan tetapi, penguatan terhadap masyarakat adat tidak kunjung dilaksanakan oleh DPR RI melalui RUU Masyarakat Adat yang telah disusun 2006 hingga 2025 ini.
Masyarakat adat pada akhirnya kerap menjadi kelompok rentan yang berhadapan dengan penggusuran dan kerusakan lingkungan.
Sementara itu, di saat yang sama DPR RI dengan cepatnya selama 4 bulan mengebut revisi UU TNI, 7 hari menyulap UU KPK yang didalamnya terdapat kepentingan-kepentingan elit.
Belum lagi kasus pelanggaran HAM berat yang sampai hari ini terduga pelakunya belum sempat diadili.
Hal ini menjadi indikasi kegagalan sistem pada instansi-instansi politik, terutama partai politik di Indonesia.
Parpol yang seharusnya menjadi tempat ideologisasi dan mendidik kader-kader yang disiplin secara ilmu pengetahuan serta memiliki integritas untuk menjadi pemimpin di kemudian hari, justru menjadi dealer pada akhirnya.
Parpol mestinya menjadi gerbong penyambung untuk mengejawantahkan kepentingan warga negaranya sebagai konstituen supaya dapat dijadikan kebijakan.
Akibat kegagalan itu, korupsi terjadi besar-besaran, dan lagi-lagi rakyat si-homo sacer yang terdampak signifikan, sulit mendapatkan hak fundamentalnya yakni kebebasan dan kesetaraan, mereka tidak dapat bebas menentukan pendidikan, karir dan kesehatannya.
Kesenjangan yang dirasakan warga Indonesia dengan warga negara makmur di luar sana mendorong terciptanya imigran-imigran yang nekat menyeberangi derasnya Selat Malaka, Selat Singapura, menjadi admin slot di Kamboja.
Tidak sedikit imigran yang bepergian secara ilegal karena tidak tahan dengan kesenjangan sosial yang diderita di Indonesia.
Alih-alih mendapatkan pundi-pundi, justru banyak kasus yang berujung pada TPPO (Tindak pidana perdagangan orang).
Sejak 2020 hingga 2024, Kementerian Luar Negeri mencatat terdapat 3.708 WNI menjadi korban online scamming dengan 40% diantaranya merupakan korban TPPO. Data tersebut hanyalah gunung es dari peristiwa lainnya yang tidak dilaporkan.
Bagi warga negara miskin, sulit bertahan dalam situasi yang terombang-ambingkan oleh ketidakpastian akut. Mengundi nasib menjadi pilihan untuk mereka bepergian ke negara-negara yang lebih makmur dari Indonesia.
Jelas, pendapatan per kapita Indonesia di tahun 2024 hanya US$4.960,33. Sedangkan di Malaysia mencapai US$14.420, Singapura US$93.960, Brunei US$37.020, Arab Saudi US$30.750, Amerika US$86.000, Taiwan US$34,430. Dari angka tersebut, warga negara Indonesia berkali-kali lipat miskinnya ketimbang negara makmur tersebut.
Selanjutnya, keberlangsungan terkait melemahnya kelas menengah dari tahun ke tahun pasca pandemi menjadi gejala serius atas kemiskinan yang menimpa warga negara.
Padahal kelompok kelas menengah menjadi indikator stabilitas ekonomi suatu bangsa, sehingga terjadi perputaran ekonomi di kalangan masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kelas menengah mengalami penurunan dari 57,33 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang di tahun 2024. Anjloknya kelas menengah, menurut data World Bank dikarenakan jumlah PHK yang meningkat drastis.
Di Januari 2025 terdapat sejumlah 3.325 karyawan kena PHK, sementara di Februari 225 terdapat sejumlah 18.610 karyawan yang kena PHK. PHK tercipta sebab tutupnya 10 perusahaan besar di Indonesia.
Tidak heran, di tiga bulan terakhir ini terdapat banyak Job Fair yang diselenggarakan oleh kementerian dan pemerintah daerah, bahkan beberapa kampus.
Barangkali ikhtiar kekuasaan guna memulihkan situasi perlu diapresiasi. Meskipun, di saat yang sama kita juga patut bertanya-tanya siapa saja pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tutupnya 10 perusahaan besar yang menciptakan krisis tersebut.
Apakah mungkin di dalamnya terdapat peran kekuasaan yang bermain untuk memindahkan poros kerajaan ekonomi yang baru?
Mengutip Daron Acemoglu, Lembaga-lembaga ekonomi sangat menentukan makmur atau miskinnya warga negara.
Di saat yang sama, percaturan politiklah yang mendeterminasi peran lembaga ekonomi tersebut. Bakat yang dimiliki warga negara perlu didorong oleh instansi politik yang ada. Tokoh legendaris seperti Bill Gates, Steve Jobs,
Paul Allen merupakan warga negara yang memiliki potensi serta ambisi yang tinggi, tetapi dalam praktiknya mereka dapat mencapai kurva tertinggi kesuksesannya mereka bergantung pada berbagai insentif yang disediakan oleh lembaga ekonomi di negaranya.
Sistem pendidikan bermutu di Amerika telah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki warga negaranya, Lembaga ekonomi di sana memberi ruang untuk mendirikan perusahaan dengan minim hambatan sekaligus membiayai proyek-proyeknya secara layak dan menguntungkan.
Pasar tenaga kerja di Amerika turut merekrut orang-orang yang memiliki kualifikasi. Satu hal yang tidak kalah penting, negara perlu memberikan rasa aman dan bentuk kepercayaan yang konkret bahwa tidak ada diktator dan oligarki yang melanggengkan kekayaan pada 1% kelompok saja, sehingga aturan main yang berlaku sehat, tidak berubah-ubah layaknya arah kepentingan kelompok 1% tersebut.
I PS.W 0035
Posted in Opini
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Kejaksaan Agung…
PANGKAL PINANG I Pintassatu.com | – Gubernur…
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Pada acara…
JAKARTA, PINTASSATU.com – Ada yang menarik dalam…
PRAYA I Pintassatu.Com I – GT World…
BOGOR KOTA I Pintassatu.com l Kota Bogor…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Aparat Polda…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Irwasda Polda Metro…
JAKARTA I Pintassatu.com I – 10 Juni…
KABUPATEN BOGOR, PINTASSATU.com – Rekayasa Lalu Lintas…