Pimpinan Redaksi Media Online Pintassatu.Com Hadiri Acara Silaturrahmi Para Tokoh Jurnalis
Headline News
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Pada acara…
Oleh: Mohammad S. Gawi
Sektor hukum dan tatanan bernegara kita mengalami kerusakan massif di ujung kekuasaan Jokowi. Jabatan politik, terutama pada strata tertinggi, tidak lagi disongsong dengan modal Intelektualitas dan integritas. Dia hanya butuh keahlian dari para patron merakit sistem politik yang nepotis-hegemonik untuk meloloskan orang-orang dekatnya.
Kenikmatan warga dalam bernegara menjadi tak bernilai padahal kenikmatan itulah, yang mendorong warga menyepakati straktat sosial untuk melahirkan negara. Masing-masing individu, kata Rousseau, telah melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas sebagai satu keutuhan, maka dia berhak pula merenggut kenikmatan bernegara.
Tragedi hukum yang diikuti dengan musibah politik hari ini, bila kita cermati terjalin secara
terencana dan beruntun sejak berhembusnya isu tiga periode jabatan Presiden yang konon berpangkal dari bigdaya ala LBP, kemudian gagal dan diganti dengan perpanjangan masa jabatan, gagal lagi, kemudian diubah menjadi pemilu ditunda.
Peristiwa ini merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan dari upaya memaksanakan dan menundukkan sistem untuk mendapuk anak Jokowi menjadi Calon Wakil Presiden. Mengapa Gibran si anak ingusan (istilah politisi PDIP, Panda Nababa) yang nir ilmu dan pengalaman, sedang diperjuangkan dengan otot politik agar terus merangsek ke puncak kekuasaan?
Karena meletakkan Orang-orang dekat pada Jabatan Publik, dipercaya menolong mengaburkan jejak kejahatan pasca peletakan jabatan. Boby Nasution (menantu), Gibran (anak sulung), disusul Kaisang (anak bungsu) yang mengkooptasi kekuasaan PSI dengan sangat mudah, dan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman yang terus bertahan di atas jabatannya setelah mempersunting adik kandung Jokowi, telah menyempurnakan drama politik irasonal yang merusak nalar sehat kita.
Perjuangan politik konstitusional yang dilakukan oknum penjilat untuk mengubah batas usia Capres -Cawapres sekadar meloloskan anak ingusan nir pengalaman dan hampa wawasan, dengan enteng menghasilkan keputusan janggal majelis hakim MK, yang diketuai adik ipar sendiri.
Disebut janggal karena amar putusan yang awalnya menolak meninjau batas usia minimal Capres-Cawapres sebagai mana telah diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tapi kemudian menegasikan dengan kalimat: “kecuali yang pernah menjabat sebagai penyelenggara negara”.
Kejanggalan itu hampir pasti bertaut erat dengan upaya merebut tahta untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan munculkan kejahatan politik-hukum setelah Jokowi meletakkan jabatan Presiden.
Dikatakan janggal karena kalau pejabat penyelenggara negara dikecualikan dari putusan konstitusinal bersyarat itu, maka pertanyaannya kapan seseorang itu disebut berpengalaman jadi penyelenggara negara dengan tanpa melanggar hukum jika dia belum selesai merampungkan jabatan. Gibran memang saat ini sedang menjabat sebagai Walikota tapi apakah dia berhasil dalam jabatan itu atau justru gagal. Penilaian akan keberhasilan ditentukan setelah dia purna jabatan.
Inilah yang saya sebut dengan kerusakan massif pada sektor hukum dan tatanan bernegara. Kemerdekaan lembaga peradilan, apalagi peradilan konstitusional seperti MK ditundukkan untuk tujuan yang hina. Justru akibat buruk dari kehinaan ini akan memunculkan kehinaan berikutnya setelah wajah bengis kekuasaan tidak lagi menjadi topeng para penguasa dholim.
Posted in Indeks Berita, Opini
JAKARTA I Pintassatu.Com I — Pada acara…
PRAYA I Pintassatu.Com I – GT World…
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Rabu 7 Mei…
JAKARTA, PINTASSATU.com I – Jusuf Kalla &…
JAKARTA, PINTASSATU.com I – Kegiatan ini bertempat…
KARAWANG I Pintassatu.Com I – Setelah sepekan terjadinya…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Adanya libur…
BOGOR, PINTASSATU.com – Seorang pria bernama Ayon (60)…