Terkait Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Sejumlah Dokumen Disita, Kapolri Ungkap Rencana Uji Forensik
Headline News
JAWA TIMUR, PINTASSATU.com – Terkait Kasus dugaan…
Oleh : Andi Kurniawan Sangiang (Ketua Bidang Lingkungan Hidup PB HMI)
Raja Ampat bukan sekedar gugusan kepulauan di Papua Barat Daya itu lanskap geografis yang memesona, melainkan ikon ekologis yang telah dinobatkan oleh Unesco sebagai warisan dunia bagi umat manusia. Namun, alih-alih dirawat, surga ini tak luput dari tangan-tangan kekuasaan yang menyamar dalam rupa kemajuan. Kini, Raja Ampat sedang terkoyak oleh tambang nikel— wujud mutakhir dari keserakahan yang dikemas dalam logika pertumbuhan ekonomi.
Kehendak itu menabrak fakta bahwa Raja Ampat adalah rumah bagi 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.400 spesies ikan karang, dan ratusan jenis moluska. Tak banyak disadari, hutan- hutannya juga menyimpan kehidupan endemik yang telah berevolusi tanpa gangguan selama ribuan tahun. Namun, apa yang tak rusak oleh waktu dan peradaban, kini porak poranda oleh skema tambang yang tak mengenal batas etika ekologis.
Setan dalam Wajah Tambang
Destruksi yang terjadi di Raja Ampat dapat dipahami sebagai “Setan” dalam perspektif teologis Islam. Setan dikenal bukan dari bentuknya, tetapi dari esensi sifatnya yang menyesatkan, merusak, dan menghancurkan. Tiga sifat itu tampaknya berinkarnasi dalam operasi pertambangan di Raja Ampat.
Pertama, keserakahan. Keinginan akan keuntungan jangka pendek telah membutakan baik korporasi maupun negara. Lebih dari 500 hektar hutan primer dibuka secara brutal, membawa hilangnya ekosistem yang tak tergantikan. Nikel—logam yang dicari-cari untuk ponsel dan baterai kendaraan listrik—menyisakan paradoks, energi hijau terbarukan untuk negara lain, sementara destruksi ekologi kolosal bagi negeri sendiri.
Selain keserakahan, esensi “Setan” lainnya yang dapat diidentifikasi dati praktek tambang di Raja Ampat adalah penghancuran. Aktivitas tambang menyebabkan tersebarnya sedimen ke laut, menyelimuti karang dan memutus rantai fotosintesis. Kapal-kapal besar pengangkut nikel kerap merusak dasar laut, mengancam ekosistem unik Selat Dampier dan wilayah lain disekitar pesisir Raja Ampat. Lebih dari itu, di daratan, deforestasi di Pulau Kawe telah menyisikan luka menganga
Terakhir, sifat “Setan” lain yang dapat disingkap ialah penyesatan melalui sejumlah narasi lancung pemerintah. Negara yang semestinya hadir untuk menjaga eksistensi ekologis, justru menjadi fasilitator kehancuran. Izin Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan tanpa AMDAL yang layak, seperti yang dilakukan oleh PT Mulia Raymond Perkasa. Hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk pengkhianatan etis terhadap kepercayaan publik dan amanat konstitusional untuk merawat lingkungan.
Lingkaran Kekuasaan: Tangan-Tangan yang Membiarkan
Kerusakan yang terjadi di Raja Ampat tidak lahir dari kealpaan institusional, tetapi justru diperkuat oleh kehadiran negara dalam bentuk yang disfungsional. Beberapa kementerian tampil sebagai bagian dari “lingkaran setan” yang bukan hanya gagal mencegah, tetapi turut memberi jalan bagi kerusakan.
Kementerian ESDM melalui menterinya menerbitkan IUP di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran—padahal ini melanggar UU No. 1 Tahun 2014. Menteri Bahlil Lahadalia berdalih pemberian IUP terjadi sebelum ia menjadi menteri, seolah ia hendak cuci tangan dan lepas dari tanggung jawab serta desakan publik untuk mencabut IUP. Bagaimanapun fakta penerbitan izin di wilayah terlarang adalah bukti kelalaian struktural. Tugas menteri yang kini menjabat adalah berbenah dengan mencabut izin tersebut.
Kementerian Kehutanan Raja Juli Antoni juga tak bersih. Di bawah tanggung jawabnya, hutan Pulau Kawe digunduli oleh PT KSM, yang memperluas lahan di luar izin. IPPKH diberikan tanpa pengawasan berarti, menjadikan hutan sebagai komoditas legal, bukan warisan ekologis.
Kementerian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq hanya bereaksi setelah kerusakan menjadi berita. Menteri mengakui pencemaran dan menjanjikan pencabutan izin. Namun, dalam kenyataannya, hanya ada papan peringatan berdiri di lokasi tambang—simbol dari kekuasaan yang hadir tapi tak berfungsi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dengan mandat menjaga pulau kecil dan pesisir, gagal mencegah invasi tambang ke zona konservasi seperti Batang Pele dan Manyaifun. Di balik ketidakberdayaan ini, kita melihat ketidaksinkronan tata kelola lingkungan yang membuat hukum sekadar teks tanpa daya.
Antara Narasi dan Kontradiksi
Ketika pernyataan antar kementerian saling bertentangan, yang hadir di ruang publik bukan lagi klarifikasi yang mencerahkan, tetapi omong kosong yang saling melepar tanggung jawab dan mengaburkan kewenangan. Menteri ESDM menyebut lokasi tambang “jauh dari kawasan konservasi.” Namun, Menteri LHK mengakui pencemaran dan berjanji menindak. Kontradiksi ini secara tak langsung dengan telanjang menunjukan raibnya good dan political will negara untuk melindungi Raja Ampat dari destruksi ekologis.
Kunjungan Menteri ESDM ke Pulau Gag pun menjadi ironi. Ia fokus pada PT Gag Nikel, sementara aktor utama perusakan—seperti PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Anugerah Pertiwi Indotama— luput dari sorotan. Senator Paul Finsen Mayor menyebut perusahaan-perusahaan inilah biang kerusakan. PT Mulia bahkan diduga beroperasi tanpa AMDAL dan mengebor secara ilegal di 10 titik. Ini bukan pelanggaran administratif biasa, melainkan bentuk pengabaian hukum secara sistemik.
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan dan Pulau Pulau Kecil secara eksplisit melarang aktivitas tambang di pulau kecil di bawah 2.000 km². Pulau Gag, Kawe, dan Manuran yang jelas terkualifikasi sebagai pulau kecil seharusnya terlarang bagi aktivitas tambang. Namun, tambang tetap beroperasi. Anehnya, sekalipun Pasal 51 ayat (1) memberi wewenang menteri mencabut izin, tetapi hingga kini izin belum juga dicabut secara permanen, hanya ada penghentian sementara. Dalam titik ini, negara sekedar hadir, tetapi diam dan enggan berbuat banyak.
Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak boleh direduksi sebagai skedar kehilangan bagi ekosistem, lebih dari itu, hal tersebut merupakan pukulan keras bagi masyarakat lokal. Mereka hidup dari pariwisata dan perikanan—dua sektor yang kini digerogoti oleh sedimentasi dan deforestasi. Terumbu karang rusak, wisatawan menurun, hingga ikan yang jadi sumber pangan mereka menghilang dan tercemar logam berbahaya.
Laporan, investigasi, dan tekanan publik perlahan mendorong negara untuk bertindak. Pada Juni 2025, Kementerian ESDM menangguhkan tambang di Pulau Gag setelah protes kolektif bergema diruang publik. Namun, langkah-langkah ini masih bersifat responsif dan bersifat simbolik. Yang dibutuhkan bukan hanya tindakan sesaat, tetapi rekonstruksi ulang cara berpikir negara terhadap ruang ekologis.
Raja Ampat bukan proyek investasi. Ia adalah situs ekologis, dan kultural yang melampaui kalkulasi pasar. Kehancurannya adalah kehilangan yang tak bisa dihitung dengan rupiah, tak bisa direstorasi oleh reboisasi instan. Surah Ar-Rum ayat 41 mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia.” Maka tanggung jawab kita bukan hanya hukum, melainkan tanggung jawab transcendental terhadap Allah SWT dan eksistensial terhadap generasi yang akan datang.
Kini, pilihannya jelas, apakah kita akan menjadi pewaris atau perusak Raja Ampat? Sejarah akan mencatat bukan hanya apa yang dilakukan, tetapi juga apa yang dibiarkan. Sebab mendiamkan kejahatan, sesungguhnya merupakan sebentuk kejahatan.
Jakarta, 9 Juni 2025
Posted in Opini
JAWA TIMUR, PINTASSATU.com – Terkait Kasus dugaan…
BANDA ACEH I Pintssatu.Com I – Ratusan…
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Kejaksaan Agung…
KENDARI I Pintassatu.com I – Kepala Kantor Pencarian…
JAKARTA I Pintassatu.Com I – Rabu 7 Mei…
KOTA BOGOR, PINTASSATU.com – Sehubungan diselenggarakannya acara…
JAKARTA, PINTASSATU.com I – Kegiatan ini bertempat…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Tim Patroli…
JAWA BARAT I Pintassatu.com I – Ajang…
JAKARTA I Pintassatu.com I – Aparat Polda…