WhatsApp Image 2025-05-03 at 14.42.22_13911e40

Menerobos Sekat Besi Hukum Positif

Admin | May 11, 2025

menerobos sekat besi hukum positif

Oleh : Mohammad S. Gawi

Mengapa hukum yang memiliki tujuan untuk mengatur tertib sosial, justru menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat?

Pertanyaan itu disodorkan Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, Guru Besar Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah Surakarta sebagai titik masuk untuk menjawab sejumlah kegalauan para pemikir positivisme. Di bawah judul “Pemikiran Hukum Progresif Dalam Bayang-Bayang Tradisi Pemikiran Positivistik”, Dymiyati merekomen dua hal yang perlu dicermati;

Pertama, karena hukum dipahami secara sempit, yang pada gilirannya cenderung formalistik, involutif, lambat serta kekurangan kapasitas untuk beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan aspek kehidupan masyarakat yang kompleks dan progresif. Inilah kegagalan hukum positif yang tak mampu melihat jauh ke depan.

Kedua, sikap para penegak hukum (di semua tingkatan) yang seringkali mengabaikan rasa keadilan masyarakat dengan keputusan-keputusan kontroversial dan diskriminatif.

Dimyati sebenarnya hendak merekonstruksi pemikiran Hukum Progresif Prof Sutjipto, yang mencoba keluar dari sekat besi hukum positif. Dengan terobosan itu, dimungkinkan ada gagasan untuk membongkar belenggu hukum murni Hans Kelsen, yang telah melarutkan banyak negara hukum dalam kekakuan.

Di Indonesia, problem hukum paling mendesak untuk dicarikan terobosan saat ini adalah menata struktur hukum (Lembaga dan Penegak Hukum) agar tidak menjadi alat kekuasaan di tengah dominasi politik yang melampaui porsinya dalam sebuah negara hukum.

Problem turunannya adakah bahwa, dari rezim ke rezim, institusi Polri sangat sulit menjunjung independensi dalam penegakkan hukum, terutama yang berhubungan dengan kepentingan penguasa.

Pemikiran Prof Sutjipto tentang hukum progresif hendaknya mengilhami para pakar hukum saat ini untuk menggagas terobosan memutus mata rantai pengaruh Penguasa kepada fungsi penegakkan hukum yang diemban Polri.

Dalam sistem Presidensil dimana Presiden sekaligus juga sebagai Kepala Negara yang disokong penuh oleh mayoritas partai politik, upaya memutus mata rantai dimaksud sangat tergantung kepada kemauan baik Presiden. Presiden berkewajiban melindungi terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat yakni rasa keadilan. Azas equality for the law mesti dijunjung tinggi.

Oleh karena itu, pada periode kedua nanti, pemerintah diharapkan membuat terobosan besar mengembalikan lembaga dan aparat penegak hukum kepada relnya, agak proses penegakkan hukum bisa dibebaskan dari anasir-anasir politik kekuasaan. Satu lagi kesadaran kunci yang perlu dibangun di tengah euforia politik saat ini adalah bahwa negara yang akan dikelola adalah Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan.

Dalam hubungan dgn itu, harus pula diakui bahwa hukum kita sudah lama mengalami kerusakan massif pada strukturnya (Lembaga dan penegaknya). Inilah sumber masalah yang sesungguhnya.

 

Posted in ,

Berita Menarik

Kejaksaan Agung Tangkap Bos Sritex

JAKARTA I Pintassatu.Com I Kamis, 22 Mei…

ICW Menilai Penyelewengan Keuangan Negara Kian Berpotensi

JAKARTA I Pintassatu.Com I — Penilaian ICW…

Minyak Nilam Aceh Tembus Pasar Eropa, JAPNAS: Ini Tonggak Sejarah Baru

BANDA ACEH – Minyak  nilam asal Aceh…

Baca Juga