GT World Challenge Asia 2025 Tuntas di Sirkuit Mandalika, Pembalap : ini Track Favorit Saya
Bali Nusra
PRAYA I Pintassatu.Com I – GT World…
Oleh : Muhammad Amri Akbar
Konflik antar negara bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban umat manusia. Terlebih, dalam dunia yang saling terhubung seperti saat ini, setiap percikan ketegangan antar negara menghasilkan resonansi ketegangan global yang cepat, bahkan langsung menyentuh ke sudut- sudut ekonomi dunia. Seperti halnya konflik antara India dan Pakistan.
Sejak merdeka dari kolonial Inggris pada tahun 1947, India dan Pakistan terlibat dalam berbagai konflik, terutama terkait wilayah Kashmir. Ketegangan ini tak kunjung surut, tiga perang besar (1947, 1965, 1971) dan serangkaian insiden militer kecil terus terjadi hingga kini. Kashmir tetap menjadi titik panas, di mana nasionalisme, agama, dan geopolitik bersilangan. Meski sesekali ada
upaya damai, kenyataannya hubungan kedua negara tetap rapuh. Baru-baru ini, retorika militer dan manuver di perbatasan kembali meningkat, menimbulkan kekhawatiran akan disrupsi baru dalam stabilitas kawasan.
Menangkap sinyal Pergeseran
India bukan pemain kecil dan bukan sembarang negara dalam ekonomi global. India adalah motor pertumbuhan global, penghasil bahan baku farmasi, pusat IT outsourcing, dan pengolah produk industri strategis. Dalam beberapa tahun terakhir, India juga mulai menjadi alternatif bagi perusahaan multinasional yang ingin berinvestasi dan mendiversifikasi rantai pasok dari dominasi Tiongkok. Banyak perusahaan manufaktur dan teknologi mulai melirik India sebagai global hub baru.
Sayangnya, konflik yang berkepanjangan dapat mengancam posisi strategis ini. Jika India mengalami disrupsi produksi akibat konflik, maka akan memperlambat produksi, distribusi, hingga investasi global. Hal ini akan mendorong terjadinya pergeseran, investor global yang semula fokus ke India bisa mulai melirik alternatif yang lebih stabil. Ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengisi kekosongan itu. Di tengah bayang-bayang perseteruan dua negara Asia Selatan ini, Indonesia justru punya peluang besar untuk melompat lebih tinggi sebagai kekuatan industri baru.
Menggesa lompatan
Tentu, menjadi kekuatan industri bukan sekadar perkara momentum. Diperlukan langkah strategis, konkret dan komprehensif agar Indonesia tidak hanya menjadi pelengkap dalam cerita pertumbuhan global. Setidaknya, menurut hemat penulis ada lima strategi mendasar yang bisa diambil sebagai jalan keluar.
Pertama, percepatan industrialisasi dan hilirisasi harus menjadi prioritas nasional. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selama bertahun-tahun, Indonesia terlalu nyaman mengekspor bahan mentah seperti nikel, bauksit, dan crude palm oil. Padahal, pengolahan dan manufaktur yang dilakukan dalam negeri dapat meningkat nilai tambah yang signifikan. Pun, sebenarnya pemerintah sudah mulai mendorong hilirisasi, misalnya dengan kebijakan larangan ekspor nikel mentah, alih – alih memperkuat kebijakan tersebut nyatanya implementasi di lapangan masih menghadapi banyak hambatan mulai dari keterbatasan infrastruktur, hingga regulasi yang berubah-ubah. Apabila konflik ini membawa India dalam ketidakpastian, Indonesia punya peluang besar untuk mengisi kekosongan rantai pasok global, khususnya dalam industri baterai
Kendaraan listrik, bioenergi, dan elektronik.
Kedua, memanfaatkan bonus demografi secara serius. Penduduk usia produktif Indonesia saat ini mencapai lebih dari 191 juta jiwa, dan angka ini akan terus meningkat hingga puncaknya di 2030. Namun, tanpa keterampilan dan kompetensi yang memadai, jumlah besar ini bisa menjadi beban, alih – alih menjadi kekuatan. Oleh karena itu, pemerintah perlu investasi besar-besaran dalam
dunia pendidikan khususnya vokasi dan politeknik, serta mendorong kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri. Bila kita mengenal India selama ini sebagai pusat outsourcing teknologi dan digitalisasi, Indonesia pun harus mulai muncul dan mengisi ruang tersebut, dengan tenaga kerja yang kompeten, inovatif, dan siap bersaing secara global.
Ketiga, membangun iklim investasi yang progresif dan stabil. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara tujuan investasi, dengan didukung oleh faktor – faktor seperti populasi 276 juta jiwa, ekonomi senilai USD 1,2 triliun, kelas menengah yang berkembang, sumber daya alam yang melimpah, dan stabilitas ekonomi yang relatif baik. Namun, masalah klasik seperti birokrasi rumit, inkonsistensi regulasi, dan ketidakpastian hukum masih menjadi hambatan serius. Untuk dapat menarik investor yang mulai ragu terhadap situasi India, Indonesia harus tampil sebagai alternatif yang lebih menjanjikan. Langkah-langkah seperti percepatan perizinan, kepastian
fiskal, dan perlindungan hukum yang dapat diandalkan menjadi kunci. Reformasi struktural seperti Omnibus Law perlu dijalankan secara hati-hati, transparan, dan berpihak pada produktivitas, bukan hanya pada pemodal besar semata. Selain itu, penerapan pajak minimum global sebesar 15% mulai 1 Januari 2025, sebagai bagian dari inisiatif OECD, menunjukkan komitmen Indonesia dalam menciptakan iklim investasi yang adil dan kompetitif.
Keempat, menggiatkan diplomasi ekonomi regional. Dengan pasar lebih dari 650 juta jiwa dan PDB gabungan senilai USD 3,6 triliun, ASEAN memiliki potensi besar untuk menjadi kawasan industri mandiri. Meskipun menjadi sebuah paradoks bahwa Indonesia selama ini lebih sering menjadi pasar ketimbang berperan signifikan sebagai produsen. Namun inilah momentumnya untuk menggesa. Dengan gaya kepemimpinan Presiden Prabowo rasanya cukup logis untuk Indonesia memimpin inisiatif integrasi industri di Asia Tenggara, mengembangkan rantai pasok regional untuk sektor strategis seperti farmasi, energi hijau, pangan, dan otomotif. Di tengah ketegangan India-Pakistan yang bisa mengganggu jalur distribusi global, kawasan ASEAN bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia berikutnya dan momentum ini harus mendorong Indonesia berada di barisan terdepan.
Kelima, dan hemat penulis ini adalah yang paling fundamental, adalah menjaga stabilitas politik dan mempercepat reformasi birokrasi. Stabilitas bukan berarti menekan oposisi atau membungkam kritik, tetapi memastikan demokrasi berjalan sehat, lembaga publik kredibel, dan kebijakan dijalankan secara konsisten. Indonesia harus membuktikan bahwa ia adalah negara demokrasi besar yang bisa stabil secara politik dan efisien secara birokrasi.
Saya kira, langkah – langkah yang telah disebutkan bukan hanya sebagai respons terhadap konflik India–Pakistan, tetapi juga prasyarat bagi Indonesia untuk bisa naik kelas menjadi ekonomi maju. Ini adalah momentum geopolitik, dunia sedang mendesain ulang rantai pasok, mengalihkan pusat industri dari kawasan yang tidak stabil ke kawasan yang lebih aman dan kompeten. Dan syukurnya Indonesia memiliki semua modal dasarnya yakni sumber daya alam, tenaga kerja muda, pasar besar, dan letak geografis yang strategis.
Hanya saja sekarang muncul pertanyaan, apakah kita berani bergerak cepat, menggesa lompatan kita sebagai bangsa ? Ekspektasi saya jawabannya adalah iya !
Inilah saatnya Indonesia tak hanya sekadar tumbuh, Indonesia harus melompat. Dari penonton menjadi pelaku utama. Dari pengolah bahan mentah menjadi negara industri. Dan dari negara berkembang menjadi kekuatan global yang diperhitungkan.
Posted in Indeks Berita, Nasional, Opini
PRAYA I Pintassatu.Com I – GT World…
BANDA ACEH I Pintssatu.Com I – Ratusan…
JAWA TIMUR, PINTASSATU.com – Terkait Kasus dugaan…
JAKARTA I Pintassatu.com I – 10 Juni…
DEPOK l Pintassatu.con l Minat pelajar warga…
DEPOK , PINTASSATU.com – Direktur Pembinaan Peran…
JAKARTA, PINTASSATU.com – Pengadilan Tipikor pada Pengadilan…
JAKARTA, PINTASSATU.com I – Kegiatan ini bertempat…